Langsung ke konten utama

Flashback: Korupsi dan Social Marketing

Sumber foto: suryamalang.com

Sebagai mahasiswa, siapa yang tidak ingin memiliki prestasi akademik? Prestasi akademik bagi mahasiswa selain sebagai sebuah kebanggaan personal, ia juga sebagai sebuah kontribusi nyata bagi jurusan, fakultas, universitas, dan bahkan negara. Maka tidak heran, prestasi akademik mahasiswa menjadi salah satu faktor untuk menentukan rangking kampus dan mendorong kampusnya untuk bersaing dengan kampus-kampus lain. Meskipun, tidak banyak mahasiswa yang mempertanyakan untuk apa dia mengejar prestasi.

Ketika mulai masuk semester lima, aku merasa cemas karena belum punya prestasi akademik, meskipun capaian prestasi non-akademikku waktu itu sangat bagus sekali. Aku berpikir waktu itu bahwa aku adalah mahasiswa yang gagal jika sama sekali tidak memiliki prestasi akademik. Sampai di semester enam kesempatan untuk meraih impianku sebagai mahasiswa datang.

Kesempatan itu datang ketika aku sedang sibuk-sibuknya sebagai Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Religi Universitas Brawijaya. Tapi, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Aku mengikuti Festival Integritas Kampus yang diselenggarakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Indonesia bersama dua temanku, Darius Iqbal Cordova dan Inge Ade Zinnia.

Tentu sudah jelas, kompetisi ini sebagai ikhtiar KPK untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi sejak dini. KPK sudah bekerja keras untuk memberantas korupsi di negeri ini, tapi itu tidak cukup. KPK perlu menyelamatkan generasi muda sebagai penerus bangsa kelak di masa depan suapaya memiliki budaya jujur dan anti terhadap segala bentuk korupsi. Perlu diketahui bahwa hasil survei Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di level 38 dari skala 0-100 pada 2018. Indeks mendekati 0 mengindikasikan masih terjadi banyak korupsi, sebaliknya makin mendekati 100 semakin bersih dari korupsi. Dengan skor tersebut Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 180 negara yang disurvei.

Sehingga tidak berlebihan jika korupsi yang menimpa Indonesia sudah tidak bisa dianggap remeh. Apalagi dampak buruk korupsi ini sangat luar biasa terhadap seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem demokrasi, sistem hukum, sistem politik, sistem perekonomian, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan. Kompetisi yang aku ikuti ini adalah untuk mengkampanyekan nilai-nilai anti korupsi di lingkungan kampus melalui program social marketingSocial marketing ini adalah salah satu mata kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi yang aku ikuti di semester lima.

Korupsi dan Keterlibatan Mahasiswa

Korupsi harus dimaknai sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Perang melawan virus yang bernama korupsi ini terus dikibarkan dalam negeri ini. Upaya-upaya pemberantasan korupsi selama ini telah dilakukan tanpa henti. Di sisi lain upaya pemberantasan korupsi yang dimotori oleh KPK belum menunjukkan hasil yang cukup optimal. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus korupsi yang masih terus terjadi di berbagai tingkatan. Kasus korupsi ini seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini yang melekat dan dianggap hal yang biasa.

Apakah kita semua tidak berpikir? Apabila kondisi semacam ini terus dibiarkan dan kita masih bersifat acuh tak acuh, maka cepat atau lambat korupsi segera menghanguskan negeri ini dan Indonesia hanya tinggal namanya saja. Oleh karena itu sepantasnya jika mahasiswa sebagai salah satu komponen penting dari masyarakat sekaligus merupakan pewaris masa depan diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan ini bisa dimulai dari diri sendiri dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku “Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi” (2011) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) Penindakan dan (2) Pencegahan.  Keterlibatan mahasiswa dalam pemberantasan korupsi tentu pada bagian kedua, karena bagian pertama merupakan otoritas institusi penegak hukum. Dalam kata lain, peran aktif mahasiswa lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di kampus lebih-lebih di tengah masyarakat.

Dari hasil penelitian yang kita lakukan sendiri, mahasiswa yang terlibat dalam organisasi internal kampus atau yang pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan banyak melakukan mark-up anggaran dalam proposal kegiatan dengan motif karena sudah biasa dan secara turun temurun dilakukan dan diwariskan oleh para seniornya. Dari fakta ini, tidak mengherankan jika masalah korupsi di Indonesia sudah sampai pada taraf menimbulkan skeptisisme karena generasinya sudah diajarkan perilaku korupsi sejak dini. Bukankah korupsi berangkat dari kebiasaan?

Ironinya, kampus tidak hanya sebagai wadah akademisi dalam mencetak ilmuan dan generasi intelektual, dalam waktu yang sama juga berkontribusi dalam mencetak koruptor kelas kakap. Pendapat ini didasarkan pada hasil FGD (Focus Group Discussion) terhadap beberapa mahasiswa yang dipilih bahwa mereka melakukan tindakan mark-up anggaran karena tuntutan sistem dalam birokrasi kampus. Rasionalisasinya, mahasiswa mengajukan anggaran untuk satu kegiatan 50 juta, tapi pada akhirnya hanya disetujui 20 juta, karena pihak birokrat meyakini anggaran itu sudah dimark-up oleh mahasiswa. Karena sering merasa kecewa atas tindakan birokrat, mahasiswa tadak kalah kreatif. Mereka berani memark-up anggaran dalam proposal kegiatannya yang sebelumnya 50 juta menjadi 100 juta. Kondisi semacam ini berimplikasi pada tindakan nekat mahasiswa untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana segar demi kesuksesan acaranya.

Apakah hal seperti ini hanya terjadi di lingkungan instutusi kampus? Apakah di institusi-institusi lain seperti pemerintahan atau non-pemerintahan juga terjadi hal yang sama? Jangan-jangan hal semacam ini sudah dianggap biasa di semua institusi di Indonesia. Tagline “Berani Jujur Itu Hebat” yang terus dikumandangkan secara keras oleh KPK tidak pernah sampai pada implementasi di tengah masyarakat Indonesia. Dari sini sudah dapat disimpulkan bahwa sistem yang ada selama ini memang sudah tidak jujur serta tidak ada saling kepercayaan. Kalau sudah begini, kapan Indonesia mau bebas dari jeratan korupsi? Maka dari itu perlu ada upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun budaya dan mental anti korupsi sejak dini.

Untuk membangun budaya anti korupsi tentu bukan perkara mudah. Oleh karena itu banyak wacana tentang korupsi bertebaran di berbagai bidang keilmuan, mulai dari pendekatan hukum, politik, ekonomi, filsafat, dan disiplin-disiplin ilmu yang lain. Namun demikian, korupsi tidak bisa dilepaskan dari sebuah perilaku manusia. Bagaimana perilaku korupsi yang dilakukan oleh manusia-manusia rakus, bisa dirubah. Di sini letak strategis dari social marketing.

What is Social Marketing?

Social marketing secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran yang dirancang untuk mempengaruhi khalayak sasaran agar secara sukarela mengubah perilaku, demi kebaikan dan kepentingan individu serta masyarakat. Dalam ka lain, ini adalah sebuah adaptasi dari teori-teori pemasaran yang diejawantahkan dalam sebuah program terencana untuk tujuan memengaruhi seseorang merubah perilakunya secara sukarela dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat.

Bagaimana program social marketing digunakan untuk merubah perilaku korupsi atau membangun budaya anti korupsi di tengah masyarakat? Dalam konteks ini, aku bersama dua temanku mengimplementasikan program social marketing yang berkaitan dengan kehidupan mahasiswa. Program itu dieksekusi pada tahun 2016 di Universitas Brawijaya dalam rangka mengikuti Festival Integritas Kampus yang diselenggarakan oleh KPK.

Nama program social marketing : MAMA MARK-UP (Mahasiswa Malu Mark-Up). Nama ini terinspirasi dari papa minta saham. Berikut aku tampilkan proposal kita yang didanai oleh KPK sebesar 20 juta.


Demikian proposal kita yang bisa aku sharing, siapa tahu bermanfaat untuk dijadikan contoh untuk mendesain program social marketing. Karena keterbatasan media, aku tidak bisa memperlihatkan produk-produk dari program ini seperti yang dijelaskan di proposal nomor 6. Tetapi paling tidak, pembaca bisa mendapat ilustrasi dari proposal tersebut. Banyak sekali contoh produk social marketing di tengah masyarakat, seperti VAPE untuk merubah perilaku merokok, dlsb. Selamat mencoba ya!

Komentar

Tulisan Trending

Cebong, Kampret dan Polarisasi Politik Setelah Wafatnya Nabi

T idak ada salahnya apabila kita  flashback  ke masa lalu, yaitu masa setelah wafatnya nabi. Fakta sejarah mencatat bahwa persoalan yang muncul pertama kali di tubuh umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW adalah justru bukan yang berkaitan dengan agama, tetapi yang berkaitan dengan persoalan politik. Perselisihan yang timbul dalam diri umat Islam pada waktu itu berkenaan dengan siapakah sahabat yang menggantikan kedudukan nabi sebagai kepala pemerintahan di Madinah. Dalam kedudukannya sebagai utusan Allah, jelas sekali Nabi Muhammad SAW tidak dapat digantikan dan semua umat Islam sepakat serta meyakininya sebagai nabi pemungkas. Kedudukannya Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara mestilah ada yang menggantikannya, karena hal itu menyangkut persoalan temporal, yaitu pembinaan dan keberlangsungan pembangunan komunitas Islam. Siapakah sahabat yang dianggap berhak menggantikan posisi nabi sebagai kepala negara? Di sini kaum muslimin ...

Socially Distanced, Intellectually Engaged

Apa sebenarnya yang orang pikirkan ketika mendengar ungkapan social distancing? Gara-gara Covid-19 ( Coronavirus Diseases 19 ), banyak istilah-istilah baru muncul dalam masyarakat, seperti lockdown, self-isolation, hand sanitizer, stay at home , dan social distancing . Istilah-istilah tersebut semuanya dalam bahasa Inggris, sehingga tidak semua orang paham maksudnya. Namun demikian, istilah yang disebutkan terakhir menjadi menarik. Social distancing menjadi sebuah ungkapan yang sering digunakan di awal kemunculan Covid-19 di Indonesia. Banyak orang tidak paham dengan istilah ini hingga akhirnya diganti menjadi physical distancing . Istilah yang satu ini bahkan menjadi debatable di kalang para ahli. Konversi terminologi itu mengikuti WHO ( World Health Organization ) yang mengganti istilah social distancing dengan physical distancing pada 20 Maret 2020. Penggantian ini diharapkan agar seseorang paham dan tidak memutus kontak dengan orang lain secara sosial. Dalam kata...

Patah Hati yang Harus Dijelaskan

Aku memulai tulisan ini dengan mengirimkan al-Fatihah kepada Didi Kempot sebagai bapak patah hati kita semua, al-Fatihah. Kalau kamu pernah patah hati, aku pun demikian, dan setiap yang namanya manusia pasti juga merasakan patah hati walaupun prosesnya berbeda-beda. Terkadang meskipun prosesnya adalah pengalaman yang sangat pribadi, sering ada kesamaan antara proses yang dialami oleh kebanyakan orang. Patah hati benar-benar menyebabkan kesedihan mendalam, bahkan pada pengalaman tertentu dapat membuat seseorang seperti kehilangan akal sehatnya. Ada semacam efek dan rasa sakit yang mengendap selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bahkan bisa jadi bertahun-tahun. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ethan Kross dan kolega-koleganya di University of Michigan menghasilkan temuan bahwa patah hati bisa memicu reaksi otak dan tubuh yang menimbulkan kelumpuhan kognitif dan fungsional cukup besar. Selain itu patah hati juga dapat menimbulkan rasa sakit emosional yang ber...

Kontroversi Lagu Aisyah Istri Rasulullah dalam Perspektif Komunikasi

Dunia industri musik Indonesia mengalami fenomena yang menarik akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, lagu yang berjudul Aisyah Istri Rasulullah menjadi trending di YouTube . Lalu menariknya di mana? Kalau hanya sebuah lagu menjadi trending di YouTube merupakan hal yang biasa bukan? Oh tidak! Ada sekitar 22 lagu yang sama dan trending dalam waktu yang bersamaan juga. Menariknya lagi, semuanya adalah lagu cover yang di cover kembali hingga mendominasi aktivitas trending di YouTube . Fenomena ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah permusikan Indonesia. Dalam aspek industri musik, lagu ini memunculkan kontroversi yang serius. Banyak yang mempertanyakan siapa pencipta lagu tersebut dan bagaimana status lagu tersebut di Indonesia karena ternyata lagu ini melibatkan dua negara, Indonesia dan Malaysia. Apakah para musisi di Indonesia sudah meminta izin juga dipertanyakan. Belum lagi soal copyrigh tnya. Namun demikian, saya tidak ingin membahas kenapa lagu yang menceritakan k...