Apa sebenarnya
yang orang pikirkan ketika mendengar ungkapan social distancing? Gara-gara
Covid-19 (Coronavirus Diseases 19), banyak istilah-istilah baru muncul dalam masyarakat, seperti lockdown, self-isolation, hand sanitizer, stay at
home, dan social distancing. Istilah-istilah tersebut semuanya dalam
bahasa Inggris, sehingga tidak semua orang paham maksudnya.
Namun demikian, istilah
yang disebutkan terakhir menjadi menarik. Social distancing menjadi
sebuah ungkapan yang sering digunakan di awal kemunculan Covid-19 di Indonesia.
Banyak orang tidak paham dengan istilah ini hingga akhirnya diganti menjadi physical
distancing. Istilah yang satu ini bahkan menjadi debatable di kalang
para ahli.
Konversi terminologi
itu mengikuti WHO (World Health Organization) yang mengganti istilah social
distancing dengan physical distancing pada 20 Maret 2020. Penggantian
ini diharapkan agar seseorang paham dan tidak memutus kontak dengan orang lain
secara sosial. Dalam kata lain, yang berjarak hanyalah fisik untuk memastikan
virus tidak menyebar dengan cepat. Tidak perlu untuk berkeliaran di luar
kecuali untuk urusan yang sangat urgen sekali.
Lalu apa sebenarnya
social distancing itu?
“Social
distancing is an official term for actions that public health officials take to
try to slow down the spread of an illness. It might mean limiting big groups
coming together, event cancelations or building closures. This could include
libraries, schools, places of worship and other spots you might normally want
to be.”
Secara
ugal-ugalan artinya kira-kira begini, social distancing itu adalah sebuah
istilah resmi untuk tindakan yang digunakan oleh pejabat kesehatan masyarakat yang
fungsinya untuk memperlambat penyebaran penyakit. Ini berarti membatasi
kelompok besar yang datang bersama, pembatalan acara atau penutupan gedung seperti
perpustakaan, sekolah, tempat ibadah dan tempat-tempat lain yang biasanya kalian
ingin kunjungi.
Definisi di atas
saya kutip dari Amava, Inc. Amava ini adalah sebuah platfom sosial di Menlo
Park, California, USA yang mendasarkan segala aktivitasnya pada social engagement.
Menurut saya, dari banyak sumber yang saya baca, dia yang paling cocok, lengkap,
dan mudah dipahami untuk mendefinisikan social distancing karena track
recordnya dalam aktivitas social engagement.
Pada dasarnya,
apa saja terminologi yang digunakan, baik social distancing atau physical
distancing, tidak begitu penting asalkan sudah memahami maksudnya. Yang lebih
penting adalah menyadari bahwa pandemi seperti ini telah merusak aktivitas
kehidupan kita sebagai mahluk sosial. Maka dari itu, kita perlu menemukan alternatif
terbaik supaya dapat stay socially connected meskipun dalam kondisi socially
distanced.
Sebagai mahluk
sosial, sebagian besar dari kita, menjalani kehidupan yang secara fisik hadir
di sekitar satu sama lain, tetapi untuk menjadi sosial tidak selalu memerlukan
kehadiran fisik. Terkadang dalam beberapa hal, kehidupan membatasi kita, tetapi
dalam banyak hal tidak. Artinya ini hanya membutuhkan perubahan perspektif
untuk mengetahui bahwa kita masih bisa bersosialisasi sambil menjaga jarak. Saya
menyebut ini dengan istilah virtual socialization, yaitu kita bisa berinteraksi
dengan melibatkan diri dalam banyak agenda secara virtual.
Sebuah jajak
pendapat terbaru yang dilakukan oleh Amava, Inc mengungkapkan bahwa lebih dari
78% responden telah menggunakan teknologi video (seperti FaceTime, Skype atau
Zoom) untuk tetap terhubung secara sosial (socially connected) selama pandemi
ini, dengan 49% melakukannya secara rutin dan 13% belum menggunakan teknologi
video tersebut tetapi ingin mencobanya.
Hai ini
mengindikasikan bahwa kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memudahkan
kita semua untuk dapat stay socially connected. Saya banyak melihat orang
masih mengikuti kursus online, dan ada juga yang mengadakan diskusi online, seperti
di Dunia Santri Community ada agenda Tadarus Ilmiah selama Ramadan. Hal seperti
ini sangat bagus untuk terlibat secara intelektual (intellectually engaged)
dalam kondisi socially distanced.
Ada banyak cara
agar kita bisa terlibat secara intelektual, seperti membaca buku, menulis, ikut
ngaji kitab di Pesantren secara online, dlsb. Sebagaimana judul dalam tulisan
ini, Socially Distanced, Intellectually Engaged. Artinya secara sosial kita
boleh berjarak, untuk ikut membantu menekan penyebaran Covid-19, tapi secara
intelektual kita harus tetap terlibat agar ketika pandemi ini selesai, kita siap
reborn di bumi yang baru selesai istirahat dengan kualitas diri yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar